BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sinopsis
Kiplik sungguh
mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas
air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca
doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar. ”Bagaimana mungkin doanya
sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah,
tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan.
Kiplik memang bisa
membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu
membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan
duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air. Namun,
ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun
masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam
pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
Semenjak Kiplik
memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan
pentingnya berdoa dengan benar. Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat
Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah
kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Ternyata tidak sedikit orang percaya
dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai
Guru Kiplik.
Untuk menyampaikan gagasan dan ilmunya Guru Kiplik pun mengembara dari satu tempat
ke tempat lain. Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi
sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah
pulau.”Danau seluas lautan,”
Meskipun terpencil dan terasing,
sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak
putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir
Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.” Mereka seperti berdoa
untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
Maka dengan penuh pengabdian dan
perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka
cara berdoa yang benar.
Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa
putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya
sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik
merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya.
Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru
Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar. Baru saja selesai
berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
”Guru! Lihat!”
Guru Kiplik pun menoleh
ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan
orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
Guru Kiplik terpana,
matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni
pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah
begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang
bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan
berlari-lari di atas air?
B.
Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah
unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema,
amanat, latar, alur, tokoh dan penokohan, dan gaya bahasa. Unsur yang terdapat
dalam cerpen Dodolitdodolitdodolibret
itu sebagai berikut:
1. Tema
Pengarang yang sedang
menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak
bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang
disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok
persoalan cerpen Dodolitdodolitdodolibret, sesungguhnya terletak pada persoalan
Kiplik yang menganggap bahwa tidak ada orang yang bisa berjalan di atas air,
walau pun Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang
dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar bisa berjalan di atas
air. Berikut kutipannnya:
“Kiplik sungguh
mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng. Mana ada orang bisa
berjalan di atas air,” pikirnya.
“Adapun
dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang
berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik
memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang
setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari
keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas
air.
“Namun,
ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun
masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam
pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.”
Dengan demikian,
kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang ahli
agama yang memiliki gagasan bahwa doa bisa menjadi solusi pemecahan setiap
permasalahan manusia dan mencapai kebahagiaan, dimana kebahagiaan menjadi
tujuan semua manusia. Agar doa bisa memiliki pengaruh, maka kita harus membaca
doa secara benar. Tema cerpen ini bersifat universal, maka tak heran kalau
cerpen Dodolitdodolitdodolibret
karya Seno Gumira Ajidarma
diakui sebagai cerpen terbaik Kompas 2011.
2. Amanat
Di dalam sebuah cerita,
gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya
sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh
cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu.
Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk
memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan
cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan
demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau
nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang
terdapat dalam cerpen Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira Ajidarma adalah:
“Berdoalah dengan membacanya secara benar.” Hal ini terdapat pada
paragraf pertama kalimat yang ketiga. Amanat pokok / utama ini kemudian
diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a) Amanat
ini dimunculkan melalui ucapan Kiplik pada kalimat ke 3.
“Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin
membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar”.
”Bagaimana
mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika
kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan.
Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar
memang dijual di mana-mana?”
(b) Berfikirlah logis dan kritis dalam
memandang persoalan. Hal ini kita bisa lihat dalam perdebatan dalam fikiran
Kiplik.
“Adapun dongeng yang didengarnya
menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan
mampu berjalan di atas air”.
“Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai
seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh
seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa
berjalan di atas air”.
“Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang
bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan
sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala
sendiri”.
”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan
kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
(c) Berdoalah
dengan penuh keyakinan hati yang mendalam. Hal ini kita bisa lihat penjelasan
Kipling tentang doa yang benar.
“Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada
siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar.
Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak
keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya
terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan
betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi
yang akan lebih benar”.
(d) Jika
kita mendapatkan kebahagiaan, maka berbagilah kebahagian tersebut dengan
sesama. Prilaku ini sebagaiman yang dicontohkan Kiplik.
“Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan
suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin
membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya
bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan
mengajarinya cara berdoa yang benar”.
(e) Jika
ingin mendapat ketenangan dan kemantapan jiwa untuk mencapai kebahagian, maka
berdoalah dengan benar.
“Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan
kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena
cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu,
siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan
untuk mencapai kebahagiaan”.
(f) Walaupun
kita kayak akan ilmu, belajarah untuk rendah hati dan tawadu. Hal ini dapat
kita lihat ketika muridnya meminta izin untuk ikut mengembara memperdalam ilmu
dan mengabdi kepada guru Kiplik.
”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar
kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara
benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,”
katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari
mencapai kebahagiaan?”
“Guru
Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu
yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin
membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi
berbahagia karenanya”.
(g) Bagi
orang yang berilmu, maka bertebarlah dimuka bumi untuk menyebarkan kebaikan dan
pencerahan pada umat. Hal ini juga yang diakukan oleh Kiplik.
“Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang
benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru
Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil
mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota,
dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh,
dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan
memperkenalkan cara berdoa yang benar”.
(h) Kalau
kita manjadi guru, maka didiklah murid kita penuh dengan pengabdian dan
perasaan kasih sayang yang tulus. Hal ini dapat kita lihat cara Kiplik
mengajar.
”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang
salah.”
“Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira,
Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar”.
(i)
Jika kita mendapat kesulitan, maka jangan
berputus asa dan bersabarlah atas setiap usaha yang kita lakukan. Hal itu pula
yang di alami oleh Kiplik.
“Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya
mengubah cara berdoa mereka yang salah itu”.
“Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah
melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga
berdoa dengan cara yang benar”.
Dan akhirnya amanat (a)
dan (c) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua
amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal
tentang amanat di atas.
3. Latar
Dalam suatu cerita
latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga
macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
1)
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa
disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah,
kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas
disebutkan oleh pengarangnya, seperti kampung, kota, lembah, gunung, sungai,
laut, pulau, danau, dan perahu layar:
“Demikianlah Guru
Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan
mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun
mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara
berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke
gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap
tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan
memperkenalkan cara berdoa yang benar”.
“Suatu ketika dalam
perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau
itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di
pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu
sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan
besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang
mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi
yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun
hanya bisa geleng-geleng kepala”.
”Danau seluas lautan,”
pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”
“Maka disewanya sebuah
perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak
tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu
salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena
kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan”.
“Pada saat waktu untuk
berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar”.
2)
Latar Waktu
Latar waktu dalam cerpen ini dapat kita lihat dalam beberapa paparan
sebagai berikut:
“Justru karena itu, semenjak Kiplik
memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan
pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar
bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya
terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan
yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar,
sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar”
“Setiap kali ia berhasil membagikan
kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui
banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar”.
“Suatu ketika dalam perjalanannya
tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau”.
“Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan
Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil
menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik,
selalu saja langsung salah lagi”.
“Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah
tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya.”
“Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru
Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar”.
“Baru saja selesai berdoa, salah satu
dari awak perahunya berteriak”.
3)
Latar Sosial
Di dalam latar ini
umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan
sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar
sosial digambarkan sebagai berikut :
“Demikianlah
akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami
bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa
sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun
Kiplik pergi”.
”Syukurlah
mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya
kepada para awak perahu”.
Dari contoh ini tampak latar sosial
berdasarkan kebiasaan para tokoh yang selalu mengucapkan rasa syukur jika
mendapat kebaikan.
“Tiadalah
usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru
Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa
pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada
perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu
juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia.
Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu”.
“Namun, alangkah
terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan
terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja
juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,” pikir
Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
“Setelah beberapa saat
lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang
salah itu”.
Dari beberapa kutipan cerpen di atas,
latar sosialnya menggambarkan suatu kelompok masyarakat yang hidupnya terbuai
oleh kemakmuran dan kesuburan alam, sehingga merasa berpuas diri dalam
kenyamanan, dan tidak mengenal dunia luar. Hal yang menarik dari kelompok
masyarakat ini, selain bekerja mereka sering mengadakan upacara doa, walaupun
doa yang mereka lakukan dengan cara yang salah. Memang Sangat sulit sekali
merubah kebiasaaan yang sudah menjadi budaya. Sudah beberapa kali mereka di
ajarkan berdoa yang benar, namun tetap saja tidak berubah.
“Sebenarnya cara berdoa
yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali
mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa
tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi”.
“Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik
pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar”.
Dalam kutipan cerpen
tersebut, latar social menggambarkan kebiasaan tokoh yang selalu memulai setiap
pekerjaan dengan berdoa terebih dahulu. Selain itu, sebagai seorang guru tokoh
Kiplik selalu memberikan pengajaran yang sangat mudah diserap oleh para
muridnya.
4. Alur
(plot)
Alur menurut Suminto A.
Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan
panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan
konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian,
yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini,
struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut:
Bagian Awal
Struktur awal terdiri dari paparan,
rangsangan, dan gawatan. Pada bagian awal cerita ini penulis memaparkan
gambaran situasi dan kondis sebagai pijakan awal dimuainya cerita. Situasi yang
di gambarkan merupakan sebuah rangsangan untuk pengenalan masalah dalam cerita
ini. Kemudian setelah pengenalan masalah tersebut, dibuat konflik yang membuat
jalan cerita ini menjadi menarik. Untuk lebih jelas, berikut pemaparannya:
Kiplik sungguh
mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa
berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang
berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar
membaca doa secara benar.
”Bagaimana mungkin
doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya
salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan”.
Adapun dongeng yang
didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan
benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa
membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu
membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan
duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat
sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya,
tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian
dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
”Dongeng itu hanyalah
perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan
siapa pun yang berdoa dengan benar.”
“Sementara
itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka
yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air”.
”Ah,
itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu”
Berdasarkan kutipan cerpen di atas pada bagian
awal ini penulis memaparkan kondisi tokoh yang mengalami kebimbangan keyakinan
antara akal fikiran dan keyakinan hati terhadap dongeng orang yang bisa
berjalan di atas air setelah membaca doa dengan benar. Dari paparan ini penulis
memberikan rangsangan jalan cerita menuju konflik dalam cerpen ini.
Selain itu, pengenalan konflik juga terjadi
saat Kiplik harus bersusah payah
menemukan sebuah Pulau terpencil di tengah Danau. Kelompok Masyarakat pulau
tersebut hanya berjumah 9 orang. Pada awalnya Guru Kipik bahagia bahwa mereka
rajin berdoa, tetapi doa yang mereka lakukan dengan cara yang salah. Untuk
lebih jelas berikut kutipannya:
Tiadalah
usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru
Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa
pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada
perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu
juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia.
Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
”Jangan-jangan
mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah
danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
“Namun,
alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil
dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping
bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi
sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
Bagian
Tengah
Struktur tengah terdapat
klimaks. Pada bagian tengah ini permasalahan/ konflik yang terjadi mengaami
puncak masalah. Klimaks, digambarkan ketika Guru Kiplik berusaha mengajarkan
doa dengan cara yang benar kepada Sembilan orang penghuni pulau terpencil
teresebut. Sudah beberapa kali Guru Kiplik mengajarkan ilmunya “membaca doa
secara benar”, namun betapa susahnya
mengubah kebiasan salah mereka yang seolah-olah mereka berdoa untuk memohon
kutukan. Guru Kiplik merasa heran, padahal tatacara berdoa yang diajarkan
sangatlah sederhana dan mampu mereka ikuti, namun tetap saja mereka selalu
salah jika diulang tanpa tuntunan. Akhirnya Guru Kipling pun merasa putus asa,
dan menuduh setan sebagai penyebab kesesatan mereka. Untuk lebih jelas berikut
kutipannya:
“Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik
menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
Dengan segala kesalahan
gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat
Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri
mereka sendiri!
”Kasihan sekali jika
mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara berdoa
yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali
mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa
tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
”Jangan-jangan setan
sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,”
pikir Guru Kiplik, lagi.
“Guru Kiplik
hampir-hampir saja merasa putus asa”.
Bagian
Akhir
Struktur akhir
terdiri dari laraian dan selesaian. Bagian terakhir cerita ini ternyata
menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutan yang di alami tokoh
utama menimbulkan penyelesaiaan atas konflik yang terjadi dalam cerpen ini.
Penyelesaian diawali ketika Guru Kiplik akhirnya berhasil mengajarkan sembilan
orang penghuni pulau membaca doa dengan cara yang benar. Guru Kiplik merasa
bersyukur, akhirnya dia bisa menyelematkan mereka dari kutukan yang tidak
sengaja mereka undang. Kemudian
memutuskan untuk pamit dan melanjutkan perjalanan, alangkah terkejutnya
Guru Kiplik melihat Sembilan penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas
air. Untuk lebih jelas berikut kutipannya:
“Guru Kiplik
hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang
luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang
benar.
Saat itulah Guru Kiplik
merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas
perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara
berdoa yang benar.
”Syukurlah mereka
terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada
para awak perahu.
“Pada saat waktu untuk
berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
“Baru saja selesai
berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
”Guru! Lihat!”
“Guru Kiplik pun
menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan
orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
“Guru Kiplik terpana,
matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni
pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah
begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang
bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan
berlari-lari di atas air?
“Sembilan orang
penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu
sambil berteriak-teriak.
Penyelesaian yang
penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, cukup yakinkah Kiplik ada
orang yang bisa berjalan di atas air karna membaca doa secara benar? Bukankah
apa yang dilihat oleh Guru Kiplik itu peristiwa yang benar-benar dilihat
langsung oleh mata kepala sendiri atau kah hanya kebetulan saja? Jika benar,
maka pemikiran rasional selama ini apakah perlu dihilangkan?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini
dikelompokkan ke dalam alur maju. Dikatakan demikian
karena cerita cerpen ini
terus maju alurnya dari awal sampai akhir.
5. Tokoh
dan Penokohan
Yang dimaksud dengan tokoh
adalah lakon atau pemain yang ada dalam cerita. Keberadaan tokoh bisa berperan secara
aktif ataupun pasif dalam sebuah cerita. penokohan yakni bagaimana pengarang
menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. Seno
Gumira Ajidarma menampilkan tokoh-tokohnya sebagai
berikut:
a. Tokoh
Aku
Tokoh ini begitu
berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kiplik
yang mengembara untuk menyebarkan kebahagiaan. Tokoh ini walau pun tidak
dimunculkan oleh pengarang, tetapi keberadaannya sangat terasa lewat pemaparan
ceritanya yang seolah-olah tokoh aku ini bercerita tentang kisah orang lain.
b. Tokoh
Kiplik
Tokoh ini merupakan
tokoh utama yang menjadi sentral semua jalan cerita. Hal ini dapat kita lihat
dari pengisahan yang dibuat pengarang dengan jelas menceritakan tentang perjalanan
Kiplik dalam mensyiarkan ilmu agama. Pengarang mendeskripsikan tokoh ini
sebagai orang pemikir dan penggagas, kritis dan logis. Hal ini dapat lihat pada
kutipan berikut:
1)
Pemikir dan Penggagas
“Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa,
maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
2)
Kritis dan logis
”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir
Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan
jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar
memang dijual di mana-mana?”
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun
orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai
seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh
seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa
berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang
bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan
sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala
sendiri.
”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan
kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
Tokoh
Kiplik juga dideskrisikan sebagai orang berilmu yang senang berbagi
kebahagiaanya dengan orang lain, dan karna tanggung jawabnya terhadap ilmunnya
sampai rela untuk mengembara. Karna ilmu yang di sampaikannya banyak
bermanfaat, banyak orang yang mau mengabdi padanya sebagai murid. Berikut
kutipannnya:
“Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada
siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan
benar…”.
“Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan
suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin
membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya
bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan
mengajarinya cara berdoa yang benar”.
“Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka
yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa
secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin
mengikuti ke mana pun Kiplik pergi”.
“…. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk
menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar.
Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai
ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang
bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang
benar.
Kebesaran
hati tokoh Kiplik yang dilukiskan oleh pengarang memberikan banyak nilai-nilai
kehidupan yang bisa pembaca teladani, diantaranya: rendahan hati, gigih dan sabar,
empati dan sipati, loyal dan penyayang .berikut
kutipannya:
1)
Rendah hati
”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar
kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara
benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,”
katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari
mencapai kebahagiaan?”
Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi,
yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti
seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika
orang lain menjadi berbahagia karenanya.
2)
Gigih dan Sabar
“Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang
ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut…”
“Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya
mengubah cara berdoa mereka yang salah itu”.
“Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah
melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil
juga berdoa dengan cara yang benar”.
3)
Empati dan simpati
”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang
salah,” pikir Guru Kiplik”.
“Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan
suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin
membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya
bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan
mengajarinya cara berdoa yang benar”.
c. Tokoh
sembilan orang penduduk pulau
Tokoh ini sangat
istimewa. Kemunculan tokoh ini membuat klimaks permasalah dan sekaligus menjadi
penyelesai konflik yang terjadi dalam cerpen ini. Karakter tokoh ini dideskripsikan
sebagai kelompok orang yang puas dan terbuai oleh kesuburan dan kemakmuran
alam. Tetapi keunikan mereka adalah rajin berdoa walaupun dengan pemikiran yang
primitif. Keprimitifan mereka diperkuat oleh pengarang dengan pendeskripsian
situasi tokoh yang hidup terpencil, terasing dari dunia luar dan dari cara-cara
mereka yang salah dalam berdoa yang
sulit untuk dirubahnya. Berikut kutipannnya:
“….Ternyatalah
bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya
tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya
itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia.
Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
”Jangan-jangan
mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah
danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
“…..,
sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak
putus-putusnya berdoa!
”Tetapi
sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
“Setelah
beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara
berdoa mereka yang salah itu”.
Jika
kita bandingkan fakta yang ada di dunia nyata, hal ini banyak terjadi. Bukan
hanya di daerah-daerah terpencil di Indonesia seperti papua, namun di pinggiran
kota bandung pun penulis masih banyak menemukan masyarakat yang sering
melakukan ritual berdoa dengan cara yang salah.
d.
Tokoh Setan
Tokoh ini
dideskripsikan pengarang sebagai tokoh jahat yang suka menyesatkan umat
manusia. Tokoh ini dianggap sebagai sumber masalah dari konflik yang terjadi.
Berikut kutipannnya:
”Jangan-jangan setan
sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,”
pikir Guru Kiplik, lagi.
6. Gaya
Bahasa
Gaya merupakan sarana
bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang
yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik
oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam
memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini
ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan,
seperti doa, surga, Nabi, duniawi, batin, takhayul, setan, kutukan, dan syukur.
Selain itu, pengarang
pun menggunakan pula majas. Majas digunakan dalam karya sastra bertujuan untuk
menghidupkan karangan agar tidak muncul kebosanan, menghilangkan kesan monoton,
dan memunculkan variasi bahasa. Makna majas diperoleh dengan cara mengalihkan
denotasi kata dan menautkan pikiran dengan yang lain.
Majas atau gaya bahasa
yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidak terlalu luas biasa namun unik.
Karena selain dekat dengan watak dan jiwa sastrawan, juga membuat bahasa yang
digunakan berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi gaya bahasa lebih
merupakan pembawaan pribadi. Dengan gaya bahasa tersebut, sastrawan hendak
memberi bentuk terhadap apa yang ingin dipaparkannya.
Majas yang tampak pada
cerpen ini yakni majas metafora. Majas metofara adalah majas yang mengandung
perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk
melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna diantaranya (Sudjiman, 1993 : 29).
Metafora juga dapat berupa analogi yang membandingkan dua hal secara langsung
tetapi dengan bentuk singkat. Berikut kutipan dalam cerpen yang menunjukkan
majas metafora. Berikut kutipanny:
“….seperti
lautan saja layaknya, sehingga guru kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala”
“Danau
seluas lautan”, pikirnya.
“ ….dunia hanyalah sebatas pulau sebesar
noktah di tengah danau seluas lautan”
Selain itu majas
pengarang juga menggunakan majas penegasan tautologi dan retorik. Tautologi
adalah majas penegasan dengan mengulang beberapa kali sebuah kata dalam sebuah
kalimat dengan maksud menegaskan. Kadang pengulangan itu menggunakan kata
bersinonim. Berikut kutipannya:
“…..telah begitu benar doanya, begitu
benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar”,…
Sedangkan majas retorik
adalah majas yang berupa kalimat tanya namun tak memerlukan jawaban. Tujuannya
memberikan penegasan, sindiran, atau menggugah. Berikut kutipannya:
“…..sehingga
mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?”
“Bukankah buku Cara
Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
”Tidak ada lagi yang
bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa
lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
”Danau seluas lautan,”
pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis
unsur intrinsik di atas, maka faktor
yang membuat cerpen tersebut diakui sebagai cerpen terbaik Kompas 2011 karna
nilai-nilai keagamaannya sangat kental dalam cerita ini. Bagaimana tidak, dari
cerpen ini memberikan pelajaran ataupun nasihat pada pembaca bahwa dengan kita
mampu membaca do’a dengan benar, maka permasalahan kita akan terselesaikan. Doa
merupakan senjata andalan bagi orang-orang yang beriman. Dengan do’a hal yang
tidak mungkin menjadi mungkin. Do’a bisa mendatangkan keajaiban bagi kehidupan
manusia.
Selain itu hal yang menarik
dari cerpen ini adalah bahasa dan diksi yang dipilih menarik perhatian para
penelaah bahasa. Antara judul dan isi cerita tidak saling menyambung. Namun justru
hal ini yang membuat para pembaca penasaran akan judul yang dipakai.
Dodolitdodolitdodolitpret memang unik didengarnya. Karna keunikan ini dan isi
yang mengundang banyak tanya akan tokoh kiplik yang menyimpan rahasia pribadi
pengarangnya mampu membuktikan menjadi cerpen terbaik persi kompas 2011.
B.
Kritik
dan Saran
Dalam diksi cerpen ini
sering kali ada kata-kata yang diulang terus menerus yang membuat pembaca
menjadi bosan. Judul yang dipakai tidak mewakili apa yang ditulis dalam cerita
cerpennya.
Jadi dengan demikian
diksi yang dipakai diharapkan menggunakan kata-kata yang tepat untuk lebih
menarik minat para pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
freetoday.com/view-pdf.php?bt=PANDUAN-APRESIASI-PROSA%E2%
80%93-FIKSI&lj=http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS
._DAN_SASTRA_INDONESIA/196606291991031-DENNY_ISKAND
AR/Bahan_Ajar_Prosa-Fiksi_PLPG_SMP.pdf). [2012].
Prosa. (2012). [online]. Tersedia,(
http://id.wikipedia.org/wiki/Prosa ) . [2012].
Kumpulan
Cerpen Kompas. (2012). [online]. Tersedia,( http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/02/26/laki-laki-pemanggul-goni/#more-1533
) . [2012].
Teori Sastra. (2010). [online].
Tersedia, http;//pustaka.ut.ac.id/website/index.php?
option=com_content&view=article&id=58:pbin-4104-teori
sastra<emid =75 &catid=30:fkip. [22 April 2012].
Rejo, Uman. S.S. (2010). [online].
Tersedia: file:///D:/Bahan%20Kuliah%20
MA2N/Menulis/Menulis%204/stilistika_16.html.[2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar