ANALISIS CERPEN “CINCIN KAWIN”
Diajukan sebagai salah satu tugas
mata kuliah kajian prosa fiksi Indonesia
yang diampu oleh Ibu Isna Sulatri, Dra..
Disusun oleh
Desi Rahayu (4103
2121101129)
Maman Suryaman (41032121101053)
Silmia Arofah (4103 2121101096)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan dunia sastra dari
sejak awal kemunculan sampai saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Setiap karya sastra memiliki ciri dan latar belakang yang berbeda setiap
periodenya. Cerpen salah satunya karya sastra yang mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Cerpen merupakan bentuk karya sastra imajinatif yang tergolong
kedalam prosa-fiksi.
Sebagai salah satu bentuk
karya sastra, cerita pendek
(cerpen) ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya
dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi,
mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan
pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa
masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik,
pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca
cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur
kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di
dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan
cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh
permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan
tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang
tokoh atau membencinya.
Melihat gambaran kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa
sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari
kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini
K.M. (1989:49).
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala
permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan
tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Seperti halnya kami mencoba
mengkaji cerpen sebagai
bahan kajian prosa-fiksi di
kelas. Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Cincin Kawin karya . Kajian ini di
harapkan dapat memberikan solusi dalam upaya memahami dan menambah
referensi bahan sebagai persiapan menjadi guru yang profesional.
B. Rumusan
Masalah
Dalam pembahasan
makalah ini kami akan memfokuskan pada beberapa masalah di bawah ini:
1.
Bagaimana ruang lingkup sastra?
2.
Bagaimana analisis struktural cerpen “Cincin Kawin Karya Danarto”?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Sebagai
tugas mata kuliah Kajian
Prosa-Fiksi di Universitas Islam
Nusantara (UNINUS) Bandung, semester 4 tahun
ajaran 2011/2012.
b.
Memaparkan analisis struktural cerpen “Cincicn Kawin” sebagai
proses pembelajaran dalam mata kuiah kajian prosa-fiksi.
D. Kerangka
Teori
1. Teori Struktural Karya Sastra
Menurut
Hawkes, sebuah karya sastra pada dasarnya adalah sebuah struktur yang unsur-unsurnya
terkait secara padu. 29 Oleh karena hal itulah, analisis yang
dilakukan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam suatu karya sastra tidaklah
mungkin akan dapat meninggalkan keseluruhan dari karya itu sendiri. Peletakan
analisis unsur-unsur harus berada dalam konteks karya sastra sebagai keutuhan
yang padu dan tidak terbelah-belah.
Menurut kaum strukturalisme, sebuah
karya sastra adalah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai
unsur pembangunnya. 30 Menurut Abrams dalam Nurgiantoro, struktur
karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, dan gambaran semua bahan dan
bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang
indah. 31
Dalam telaah sebuah prosa, analisis
struktur adalah sesuatu yang utama dan sangat perlu dianalisis terlebih dahulu
karena sifat kompleks yang dimilikinya, sebagaimana dikatakan oleh Knok C. Hill
dalam Pradopo, bahwa sebuah karya sastra pada dasarnya adalah sebuah struktur
yang kompleks. 32 Menurut Dresden dalam A. Teeuw, analisis struktur
karya sastra yang ingin diteliti dari segi mana pun juga merupakan tugas
prioritas bagi setiap peneliti sastra, yang merupakan pekerjaan pendahuluan,
karena sebuah karya sastra merupakan “dunia dalam kata”. 33 Maksud dari
sebutan tersebut adalah sebuah karya sastra mempunyai kebulatan makna
intrinsik, yang hanya bisa kita gali dari karya itu sendiri. 34
Sebuah struktur dapat dilihat dari
bermacam-macam segi penglihatan. Sesuatu dikatakan mempunyai struktur bila ia terdiri
dari bagian-bagian yang secara fungsional berhubungan satu sama lain. Struktur
sebuah narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya, seperti
perbuatan, karakter, latar, dan sudut pandangan. Dan dapat juga dianalisa
berdasarkan alur narasi. Menurut Wellek
dan Warren, unsur-unsur tersebut perlu
dipelajari jika ingin membandingkan sebuah roman dengan
kehidupan, atau jika ingin menilai secara etika atau sosial- karya seseorang. 35
Menurut Aristoteles dalam A. Teeuw,
keteraturan atau susunan plot yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas,
kesatuan dan keterikatan plot disebut sebagai syarat utama yang mutlak bagi
struktur sebuah karya sastra, agar dapat dikatakan berhasil dan bernilai. 36
2.
Unsur-unsur
Intrinsik Karya Sastra
Karya sastra disusun oleh dua unsur
penyusun yang membangunnya, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur yang menyusun suatu karya sastra dari dalam yang
mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : tema, tokoh dan penokohan,
alur dan pengaluran, latar dan pelataran, dan lain sebagainya, sedangkan unsur
ekstrinsik adalah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari luarnya
menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain. 37
Unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam
sebuah karya sastra juga dapat disebut sebagai struktur dalam dan struktur
luar. Kedua struktur ini merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional
berhubungan antara satu dengan lainnya. Jika kedua unsur ini tidak saling
berhubungan, maka keduanya tidak dapat dinamakan sebuah struktur. 38
Struktur luar dan struktur dalam ini
merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional berhubungan satu sama
lainnya. Bila kedua unsur itu satu sama lain tidak berhubungan maka ia tidak
dapat dinamakan struktur, dan tentu saja struktur itu sendiri harus dilihat
dari satu titik pandangan tertentu. 39
29 Pradopo,
Op. Cit., hal.120
30
Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1995), hal. 36.
31 Ibid..
32 Pradopo,
Op. Cit..
33 Teeuw, A,
Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal.
61.
34 Ibid..
35 Wellek, Op.
Cit., hal. 319.
36 Teeuw, A,
Sastera dan Ilmu Sastera, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2003), hal. 100-101.
37 Budianta,
Op. Cit., hal.3.
38 Semi, Op.
Cit., 35.
39 Ibid..
E. Sumber
Data
Sumber data
yang menjadi objek analisis dalam penelitian ini adalah cerpen Cincin Kawin
karya Danarto. Cerpen ini diterbitkan di buku kumpulan cerpen pada
Tahun 2009.
F. Metode
Analisis
1. Metode
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode struktural. Prinsip dasar dari pendekatan struktural, menurut Teeuw (1984:135-136)
adalah (a) pendekat-an struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat
mungkin keterkaitan unsur-unsur karya sastra yang membentuk makna menyeluruh
(univer-sal), (b) pendekatan struktural tidak menjumlahkan unsur-unsur, (c)
pendekatan struktural berusaha menyematikkan termasuk menyemantikkan gejala
bunyi dalam karya puisi, dan (d) pendekatan struktural menganggap bahwa
keseluruhan makna karya sastra berada dalam keterpaduan struktur total.
Rene
Wellek dan Warren menyatakan bahwa pendekatan struktural dalam menganalisis
karya sastra harus mementingkan segi intrinsik dan anti ekstrinsik (Wellek dan
Warren, 1974:24). Artinya di dalam pendekatan struktural, karya sastra
dipkitang otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal yang berada di luar
karya sastra. Aristoteles dalam Teeuw (1984:66) menyebutkan empat sifat
struktur, yakni: (a) order (urutan
teratur), (b) amlplitude (keluasan
yang memadai), (c) complexity
(masalah yang kompleks), dan (d) unity
(kesatuan yang bulat). Cara meng-aktualisasikan prinsip tersebut dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) dengan cara berpola, dan (b) dengan cara
tidak berpola. Pendekatan struktural ber-pola si Apresiator (pembaca) terlebih
dahulu menen-tukan unsur apa yang akan diapresiasi atau dipahami. Sedangkan
dengan cara tidak berpola, apresiator (pembaca) tidak menentukan terlebih
dahulu unsur apa yang akan diapresiasinya, tetapi dimulai dari unsur yang
diinginkan.
Kelemahan
metode strukturalisme adalah keyakinannya yang terlalu berlebihan terhadap
otonomi karya sastra. Akibatnya, terabaikanlah dua hal pokok yang penting
dipertimbangkan dalam rangka mencari dan menemukan makna karya sastra, yakni
kerangka sejarah dan kerangka sosial budaya yang mengitari karya sastra
tersebut. Secara lebih rinci kelemahan itu adalah: (a) strukturalisme murni
belum mengungkapkan teori sastra yang tepat dan lengkap, (b) menelaah karya sastra
secara terpisah, padahal karya sastra harus diteliti dan dipahami dalam rangka
sistem sastra dengan latar belakang sejarah, (c) terlalu meyakini bahwa karya
sastra mempunyai struktur yang objektif, dan (d) telaah strukturalisme yang
hanya menekankan otonomi karya sastra akan menghilangkan fungsi referensialnya,
sehingga karya sastra dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.
Sedangkan
keuntungan metode strukturalis-me yang memegang teguh kelengkapan, keterjalinan
struktur dan otonomi karya sastra, serta metode telaah sastra yang disukai ini
adalah sebagai berikut: (a) penelaah atau apresiator tidak perlu memiliki latar
belakang budaya, sejarah, psikologi, sosiologi, filsafat dan sebagainya yang
cukup luas untuk membaca karya sastra, (b) pembaca dapat menggali struktur
karya sastra sedalam-dalamnya sampai pada keterjalinannya yang paling rumit
sekalipun, dan (c) pembeca dapat menelaah karya sastra secara objektif karena
hanya menelaah struktur karya sastra.
2. Teknik
Berdasarkan
pemaparan teori struktural diatas, dapat dirumuskan bahwa karakteristik
pende-katan struktural dalam menelaah atau mengapresiasi karya sastra adalah
sebagai berikut:
1)
Asumsi
pendekatan struktural adalah bahwa karya sastra baik prosa fiksi maupun puisi
atau karya drama dipkitang bersifat otonom
2)
Bentuk
telaah sederhana karena yang ditelaah hanya struktur intrinsik semata;
3)
Unsur
yang ditelaah hanya terbatas pada unsur intrinsik serta keterkaitan antara satu
unsur dengan unsur lainnya;
4)
Proses
telaah dari struktur bagian ke struktur keseluruhan;
5)
Teknik
telaah analitik, yaitu memberi makna tiap bagian struktur intrinsik kemudian
baru kepada makna totalitas;
6)
Dasar
pertimbangan dalam penentuan makna semata-mata dari unsur intrinsik;
7)
Pangkal
tolak telaah linear, dari bagian ke konsep totalitas secara otonom; dan
8)
Esensi
sastra terlepas dari konteks kesemes-taan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ruang Lingkup
Sastra
Secara etimologi istilah sastra berasal dari
bahasa Sangsakerta yang artinya teks yang mengandung “ instruksi atau “
pedoman”, dari kata dasar sas “instruksi atau ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini bisa
digunakan untuk merujuk pada “kesusastraan” atau sebuah tulisan yang memiliki
arti keindahan tertentu. Berdasarkan istilah tersebut, maka definisi sastra
adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
gagasan, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkrit yang
membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa. Seorang yang membaca sastra akan
mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang bersumber dari gagasan, fikiran dan
perasaan seorang pengarangnya.
Dalam
perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu:
a. Sastra imajinatif
Sastra imajinatif mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1) isinya bersifat khayali,
2) menggunakan bahasa yang konotatif,
3) memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Bentuk karya sastra
imajinatif, yaitu:
1) Puisi : epic, lirik, dan dramatik.
2) Prosa : fiksi dan drama.
b. Satra non-imajunatif
Sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) isinya menekankan unsur faktual/faktanya,
2) menggunakan bahasa yang cenderung denotative,
3) memenuhi unsur-unsur estetika seni.
Bentuk karya sastra imajinatif, yaitu:
§ esai,
§ kritik,
§ biografi,
§ otografi,
§ sejarah,
§ memoar,
§ diary, dan
§ surat.
Dari jenis-jenis
sastra di atas, salah satu bentuk karya sastra yang akan dikaji oleh penulis
adalah genre sastra, prosa-fiksi berbentuk cerpen.
B.
Prosa-Fiksi
1. Pengertian
Pada dasarnya prosa fiksi merupakan cerita
rekaan yang dihasilkan oleh pengarang melalui proses perpaduan pikiran dan
perasaannya. Kekuatan pengarang untuk menghasilkan karya-karyanya dalam prosa
fiksi adalah imajinasi. Dengan imajinasi pengarang mampu menuangkan ide-idenya
secara bebas dalam sebuah tulisan yang menarik. Makna imajinasi disini bukan
berarti prosa fiksi terlahir dari lamunan kosong semata, tetapi hasil dari
perpaduan proses berfikir dan perasaan yang bersumber dari lingkungan kehidupan
yang dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang.
Jika kita telaah lebih dalam tentang prosa,
kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose. Kata ini sebenarnya menyaran
pada pengertian yang lebih luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang
digolongkan sebagai karya sastra, tapi juga karya non fiksi, seperti artikel,
esai, dan sebagainya. Agar tidak terjadi kekeliruan, pengertian prosa pada
kajian ini dibatasi pada prosa sebagai genre sastra. Dalam pengertian
kesastraan, prosa sering diistilahkan dengan fiksi (fiction), teks naratif
(narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Prosa yang sejajar
dengan istilah fiksi (arti rekaan) dapat diartikan : karya naratif yang
menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak sungguh-sungguh terjadi di
dunia nyata. Tokoh, peristiwa dan latar dalam fiksi bersifat imajiner. Hal ini
berbeda dengan karya nonfiksi. Dalam nonfiksi tokoh, peristiwa, dan latar
bersifat faktual atau dapat dibuktikan di dunia nyata (secara empiris).
Kata fiksi berasal dari kata fiction yang berarti
rekaan. Fiksi dapat dibedakan
atas fiksi yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan:
“seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas
adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi
membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi
aktualitas mengatakan “karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”.
Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman
sejarah, kisah perjalanan, biografi, dan otobiografi.
Berikut pengertian prosa fiksi
menurut beberapa para ahli:
a.
Prosa
Fiksi adalah kisahan atau ceritera yang diemban oleh palaku-pelaku tertentu
dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian ceritera tertentu yang
bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu ceritera. (aminuddin,
2002:66).
b.
M. Saleh
Saad dan Anton M. Muliono (dalam Tjahyono, 1988:106) mengemukakan pengertian
prosa fiksi (fiksi, prosa narasi, narasi, ceritera berplot, atau ceritera
rekaan disingkat cerkan) adalah bentuk ceritera atau prosa kisahan yang mempunyai
pemeran, lakuan, peristiwa, dan alur yang dihasilkan oleh daya imajinasi.
c.
Sudjiman,
(1984:17) yang menyebut fiksi ini dengan istilah ceritera rekaan, yaitu kisahan
yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur
yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa.
Berdasarkan pengertian di atas dapat penulis
simpulkan bahwa prosa fiksi adalah cerita rekaan yang mempunyai tokoh, peristiwa, dan latar
dalam fiksi bertolak dari hasil
imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu ceritera.
2. Ciri-Ciri
Prosa Fiksi
a.
Bersifat
fiksi/rekaan
b.
Bahasan
terurai / berupa narasi;
c.
Dalam
ceritanya memiliki tokoh, peristiwa, latar, alur, dan pesan/ajaran;
d.
Dapat
memperluas pengetahuan dan menambah pengetahuan, terutama pengalaman
imajinatif;
e.
Prosa
fiksi dapat menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan yang
berfungsi menghibur, kejiwaan, dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran;
f.
Maknanya
dapat berarti ambigu;
g.
Prosa
melukiskan realita imajinatif karena imajinatif selalu terikat pada reaitas,
sedangkan reaitas tak mungkin lepas dari imajinatif;
h.
Bahasannya
lebih condong ke bahasa figurative dengan menitiberatkan pada pengguna
kata-kata konotatif;
i.
Prosa
fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi
pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.
3. Jenis–Jenis
Prosa – Fiksi
a. Prosa
Modern
Dalam sastra
modern, ada beberapa jenis karya prosa fiksi, yaitu novel, novelet, dan cerita
pendek (cerpen).
1) Cerita
Pendek (cerpen)
Secara sederhana
cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek.
Ukuran pendek di sini bersifat relatif. Menurut Edgar Allan Poe, sastrawan kenamaan Amerika, ukuran pendek di sini
adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam.
Adapun Jakob Sumardjo dan Saini K.M
(1995:30) menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan
pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.
Cerpen, dilihat dari segi panjangnya, cukup bervariasi. Ada cerpen yang pendek
(short short story), berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan
(middle short story), dan ada cerpen yang panjang (long short story) biasanya
terdiri atas puluhan ribu kata. Dalam kesusastraan di Indonesia, cerpen yang
diistilahkan dengan short short story, disebut dengan cerpen mini. Sudah ada
antologi cerpen seperti ini, misalnya antologi : Ti Pulpen Nepi Ka Pajaratan
Cinta. Contoh untuk cerpen-cerpen yang panjangnya sedang (middle short story)
cukup banyak. Cerpen-cerpen yang dimuat di surat kabar adalah salah satu contohnya.
Adapun cerpen yang long short story biasanya cerpen yang dimuat di majalah.
Cerpen, ”Sri Sumariah” dan “Bawuk” karya Umar Khayam juga termasuk ke dalam
cerpen yang panjang ini.
2) Novelet
Di dalam khasanah
prosa, ada cerita yang yang panjangnya lebih panjang dari cerpen, tetapi lebih
pendek dari novel. Jadi, panjangnya antara novel dan cerpen. Jika
dikuantitaatifkan, jumlah dan halamannya sekitar 60 s.d 100 halaman. Itulah
yang disebut novelet. Dalam penggarapan unsur-unsurnya : tokoh, alur, latar,
dan unsur-unsur yang lain, novelet lebih luas cakupannya dari pada cerpen.
Namun, dimaksudkan untuk memberi efek tunggal.
3) Novel
Kata novel
berasal dari bahasa Italia, novella, yang berati barang baru yang kecil. Pada
awalnya, dari segi panjangnya noovella memang sama dengan cerita pendek dan
novelet. Novel kemudian berkembang di Inggris dan Amerika. Novel di wilayah ini
awalnya berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, seperti surat,
biografi, dan sejarah. Namun seiring pergeseran masyarakat dan perkembangan
waktu, novel tidak hanya didasarkan pada data-data nonfiksi, pengarang bisa
mengubah novel sesuai dengan imajinasi yang dikehendakinya.
Yang membedakan
novel dengan cerpen dan novelet adalah segi panjang dan keluasan cakupannya.
Dalam novel, karena jauh lebih panjang, pengarang dapat menyajikan unsur-unsur
pembangun novel itu: tokoh, plot, latar, tema, dll. secara lebih bebas, banyak,
dan detil. Permasalahan yang diangkatnya pun lebih kompleks Dengan demikian
novel dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang menyajikan
permasalahn-permasalahan secara kompleks, dengan penggarapan unsur-unsurnya
secara lebih luas dan rinci.
4) Roman
Kehadiran dan
keberadaan roman sebenarnya lebih tua dari pada novel. Roman (romance) berasal
dari jenis sastra epik dan romansa abad pertengahan. Jenis sastra ini banyak
berkisah tentang hal-hal yang sifatnya romantik, penuh dengan angan-angan,
biasanya bertema kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman dalam sastra
Indonesia diacu pada cerita-cerita yang ditulis dalam bahasa roman (bahasa
rakyat Prancis abad pertengahan) yang masuk ke Indonesia melalui kesusastraan
Belanda. Di Indonesia apa yang diistilahkan dengan roman, ternyata tidak
berbeda dengan novel, baik bentuk, maupun isinya. Oleh karena itu, sebaiknya istilah
roman dan novel disamakan saja. Cerpen, novel/roman, dan novelet di atas
berjenis-jenis lagi. Penjenisan itu dapat dilihat dari temanya, alirannya,
maupun dari kategori usia pembaca. Terkait dengan penjenisan berdasarkan
kategori usia pembaca, kita mengenal pengistilahan sastra anak, sastra remaja,
dan sastra dewasa. Begitu pula dengan jenis prosa di atas, baik cerpen, novel,
maupun novelet. Penjenisan itu disesuaikan dengan karakteristik usia
pembacanya, baik dari segi isi, maupun penyajiannya. Sebagai contoh, sastra
anak (cerpen anak, novel anak) dari segi isinya akan menyuguhkan
persoalan-persoalan dan cara pandang sesuai dengan dunia anak-anak. Begitu pula
dengan penyajiannya, yang menggunakan pola penyajian dan berbahasa sederhana
yang dapat dipahami anak-anak. Sastra remaja pun demikian, persoalan dan
penyajiannya adalah sesuai dengan dunia remaja, seperti percintaan,
persahabatan, petualangan, dan lain-lain.
b. Prosa
Lama
Yang dimaksud
dengan istilah prosa lama di sini adalah karya prosa yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat lama Indonesia, yakni masyarakat tradisional. di wilayah
Nusantara. Jenis sastra ini pada awalnya muncul sebagai sastra lisan. Prosa
lama sering pula diistilahkan dengan folklor (cerita rakyat), yakni cerita
dalam kehidupan rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan.
Dalam istilah masyarakat umum, jenis prosa lama sering disebut dengan dongeng.
Ada beberapa jenis prosa lama diantaranya, yaitu:
§ Dongeng, adalah cerita yang sepenuhmya
merupakan hasil imajinasi atau khayalan pengarang di mana yang diceritakan
seluruhnya belum pernah terjadi. Dongeng sendiri banyak ragamnya, yaitu sebagai
berikut :
§ Fabel adalah cerita rekaan tentang binatang
dan dilakukan atau para pelakunya binatna g yang diperlakukan seperti manusia.
Contoh: Cerita Si Kancil yang Cerdik, Kera Menipu Harimau, dan lain-lain.
§ Legenda adalah dongeng tentang suatu kejadian
alam, asal-usul suatu tempat, benda, atau kejadian di suatu tempat atau daerah.
Contoh: Asal Mula Tangkuban Perahu, Malin Kundang, Asal Mula Candi Prambanan,
dan lain-lain.
§ Mite adalah cerita yang mengandung dan
berlatar belakang sejarah atau hal yang sudah dipercayai orang banyak bahwa
cerita tersebut pernah terjadi dan mengandung hal-hal gaib dan kesaktian luar
biasa. Contoh: Nyi Roro Kidul.
§ Cerita Penggeli Hati, sering pula diistilahkan
dengan cerita noodlehead karena terdapat dalam hampir semua budaya rakyat.
Cerita-cerita ini mengandung unsur komedi (kelucuan), omong kosong,
kemustahilan, ketololan dan kedunguan, tapi biasanya mengandung unsur kritik
terhadap perilaku manusia/mayarakat. Contohnya adalah Cerita Si Kabayan, Pak
Belalang, Lebai Malang, dan lain-lain.
§ Cerita Perumpamaan adalah dongeng yang
mengandung kiasan atau ibarat yang berisi nasihat dan bersifat mendidik. Sebagai
contoh, orang pelit akan dinasihati dengan cerita seorang Haji Bakhil.
§ Sage, adalah cerita lama yang berhubungan
dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan
keajaiban seseorang. Contoh : Calon Arang, Ciung Wanara, Airlangga, Panji,
Smaradahana, dan lain-lain.
§ Parabel, adalah cerita rekaan yang
menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau
perbandingan. Contoh : Kisah Para Nabi, Hikayat Bayan Budiman,
Bhagawagita, dan lain-lain.
§ Hikayat adalah cerita, baik sejarah, maupun
cerita roman fiktif, yang dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang,
atau sekedar untuk meramaikan pesta. Contoh; Hikayat Hang Tuah, Hikayat Seribu
Satu Malam, Kabayan, si Pitung, Hikayat si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan,
Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman, dan lain-lain.
§ Kisah adalah karya sastra lama yang berisi
cerita tentang perjalanan atau pelayaran seseorang dari satu tempat ke tempat
lain. Contoh: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abullah ke
Jeddah, dan lain-lain.
§ Tambo adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya
diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah
bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga
berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis
oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh : Sejarah Melayu karya datuk
Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.
§ Cerita berbingkai, adalah cerita yang
didalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya.
Contoh : Seribu Satu Malam.
Dari
jenis-jenis cerita di atas, ada juga yang dikhususkan sebagai cerita anak. Yang
termasuk cerita anak dari khasanah prosa lama antara lain: cerita binatang
(contohnya Cerita Kancil dan Buaya, Burung Gagak dan Serigala, dan lain-lain),
cerita noodlehead (contohnya: Cerita Pak Kodok, Pak Pandir, PakBelalang, Si
Kabayan, dan lain-lain).
C. Analisis Cerpen “Cincin Kawin”
1. Sinopsis Cerpen “ Cincin Kawin”
Cerpen Cincin Kawin karya Danarto
menceritakan kisah perjuangan seorang anak sulung mempertahankan keselamatan
keluarganya dari bahaya kematian yang mengintainya. Ayahnya telah mati karna
menjadi korban pembantaian orang tak dikenal bersarung pedang. Kemudian setelah
kematian ayahnya, ibunya pula ikut menyusul pada kematian setelah koma terlau
lama karna kaget menemukan cincin kawin suaminya ada pada perut ikan yang
dimakannya. Dari sana mulailah sekaniro perjuangan seorang anak sulung
mempertahankan keluarga kecil yang beranggotakan 3 orang. Karena daya
pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini mudah dipahami
agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen “Cincin Kawin” tesebut.
Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Ketika ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang
sedang dimakannya, seketika ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma
sekitar satu minggu, kemudian ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup
keluarga kami diputar ulang.
Hidup kami baik-baik saja sampai gempa yang berkekuatan dahsyat itu
jatuh dari angkasa. Hari itu hari yang mendidih. Hari belum tinggi benar ketika
ayah diseret ke tepi Sungai Brantas bersama puluhan orang laki-laki dan
perempuan yang duduk dengan mata tertutup dan tangan terikat ke belakang. Saya menyaksikan satu per satu dari leher
orang-orang yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih
menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara. Lalu tubuh-tubuh yang masih
duduk tak berkepala itu didorong terjungkal ke sungai.
Hari-hari yang sangat berat bermunculan. Hari-hari yang sangat berat
yang harus kami panggul. Saya dikeluarkan dari pekerjaan saya sebagai pemasar
barang-barang kebutuhan dapur karena dianggap tidak bersih lingkungan. Begitu
juga kakak perempuan saya, Retno, guru SMP. Masih untung, adik saya, Ning, yang
bekerja di sebuah usaha kerajinan rakyat, alhamdulillah, masih boleh bekerja.
Mungkin karena Ning masih kecil. Sementara itu uang tabungan ibu semakin
menipis. Waktu itu kabar merebak, ikan-ikan yang harganya masih murah sebagai
lauk, mulai ditinggalkan karena di dalam tubuh ikan-ikan itu biasa ditemukan
potongan jari, bola mata, usus, maupun barang-barang yang menempel di
tubuh-tubuh mayat yang memenuhi Sungai Brantas.
Kami masih bertahan makan ikan karena harganya semakin murah, sampai ibu
menemukan cincin kawinnya yang dipakai di jari ayah. Hari-hari semakin
bertambah berat bagi kami bertiga yang semakin lemah menjalaninya, ketika kami
merawat ibu yang koma satu minggu lamanya dengan makanan seadanya yang sangat tidak
pantas dan menguburkannya pada hari ke delapan.
Hari-hari yang mengerikan itu sering mendorong nyawa kami sampai di
tenggorokan. Nyawa yang digondeli raga sekuat-kuatnya. Supaya tidak terlepas.
Supaya tetap betah menghuni di dalam tubuh kami dalam keadaan sengeri apa pun.
Duh, raga, gondelilah nyawa. Rasanya tubuh kami tinggal kulit pembalut tulang.
Kecantikan Retno yang mewarisi kecantikan ibu, lenyap. Retno tinggal kering
kerontang, tanpa seyum, tanpa harapan. Begitu juga Ning yang tampak lebih cantik
dari kakaknya, persis anak gelandangan yang memakan apa saja supaya perut tidak
lapar.
Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang
jiwanya sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa
keduanya. Saya cukup lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno
dari hari ke hari terus memburuk.
Setelah sakit beberapa lamanya,
Retno muntah darah. Karena ketiadaan obat dan akanan yang baik, akhirnya Retno
meninggal. Retno saya kuburkan di samping kuburan ibu. Setiap hari saya
kunjungi kuburannya yang menyadarkan saya bahwa saya telah gagal menyelamatkan
keluarga kecil ini. Apalagi Ning pergi meninggalkan saya entah ke mana.
2. Analisis Struktural Cerpen “Cincin
Kawin”
Cerpen “Cincin Kawin” menceritakan kisah kesedihan seorang anak
laki-laki yang menjalani kehidupan tiap harinya penuh dengan tragedi yang
menyakitkan dan selalu di hantui oleh ketakutan akan kematian. Ibunya yang
ditinggal suaminya karna menjadi korban pembantaian, harus direlakan pergi
meninggalkan mereka dalam kesedihan dan keterpurukan hidup. Walau demikian
keluarga kecil ini terus bertahan, namun kenyataannya ujian hidup yang lain
terus bermunculan, dan akhirnya kakak perempuan dan adik perempuannya juga
harus direlakan meninggalkan anak laki-laki itu.
Analisis struktural Cerpen “Cincin Kawin” adalah sebagai berikut:
a. Alur
Alur
menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan
hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri
dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Bagian Awal
Struktur awal
terdiri dari paparan, rangsangan, dan gawatan. Pada bagian awal cerita ini
penulis memaparkan gambaran situasi dan kondis sebagai pijakan awal dimuainya
cerita. Situasi yang di gambarkan merupakan sebuah rangsangan untuk pengenalan
masalah dalam cerita ini. Kemudian setelah pengenalan masalah tersebut, dibuat
konflik yang membuat jalan cerita ini menjadi menarik pembaca untuk ternggelam
dalam rasa simpati dan empatik yang mendalam pada tokoh cerita ini.
Bagian Tengah
Struktur tengah
terdapat klimaks. Pada bagian tengah ini permasalahan/ konflik yang terjadi
mengaami puncak masalah. Klimaks, digambarkan ketika keluarga kecil ini
terpuruk kehidupannnya, karna tidak ada biaya Retno meninggal karna sakit dan Ning pergi meninggalkan rumah
entah kemana.
Bagian Akhir
Struktur akhir
terdiri dari laraian dan selesaian. Leraian digambarkan ketika berakhirnya konflik
batin karna teror dan kematian anggota keluarganya. Selesaian digambarkan oleh
pengarang dengan mendeskrifsikan penyesalan dirinya karna tidak bisa menjaga
anggota keluarganya dari bahaya dan juga kepasrahan terhadap musibah yang
dialami keuarganya.
Jika struktur alurnya seperti di atas maka
alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back
(sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah
sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Sorot balik (Sudjiman, 1992: 33) digunakan di tengah cerita sebagai
usaha menambah tegang. Adanya tegangan menyebabkan pembaca terpancing
keingintahuaannya akan keanjutan cerita serta penyelesaian masalah yang
dihadapi tokoh.
b. Tokoh dan Penokohan
Individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam
berbagai peristiwa dalam cerita dinamakan tokoh (Sudjiman, 2006: 79).
Berkaitan dengan definisi tokoh, definisi penokohan (2006: 61) adalah
penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra. Penokohan merupakan gambaran
tokoh yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang pebaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dala ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan
dalam adalah hal-hal yang berkaitan dengan sifat batin seorang tokoh yang
membedakannya dengan tokoh lain secara intens.
Cerpen “Cincin Kawin” Danarto menampilkan tokoh-tokohnya sebagai
berikut:
a) Tokoh Saya
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya
kita bisa mendengar kisah tragis keluarganya yang salah satu
angota keluarganya menjadi korban pembantaiaan masal. Pengarang
menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang bertanggung
jawab, penyayang, tidak putus asa dan tegar dalam menjalani hidup walau masalah
datang silih berganti menimpa keuarganya. Datanya seperti berikut.
“Kami masih bertahan makan ikan karena harganya semakin murah, sampai
ibu menemukan cincin kawinnya yang dipakai di jari ayah. Hari-hari semakin
bertambah berat bagi kami bertiga yang semakin lemah menjalaninya, ketika kami
merawat ibu yang koma satu minggu lamanya dengan makanan seadanya yang sangat
tidak pantas dan menguburkannya pada hari ke delapan”.
“Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang
jiwanya sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa
keduanya. Saya cukup lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno
dari hari ke hari terus memburuk".
b)
Retno
Tokoh ini sebagai tokoh pembantu dalam pemunculan
masalah yang klimaks. Tokoh ini digambarkan oleh penulis sebagai tokoh yang
yang lemah fisiknya dan menjadi pelengkap keprihatinan bagi tokoh si Saya.
“Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang
jiwanya sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa keduanya.
Saya cukup lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno dari hari ke
hari terus memburuk”.
“Setelah sakit beberapa lamanya, Retno muntah darah. Karena ketiadaan
obat dan makanan yang baik, akhirnya Retno meninggal”.
c) Ning
Tokoh Ning tidak berbeda dengan Retno
sebagai tokoh pelengkap. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh yang rapuh
mentalnya. Datanya sebagai berikut:
Retno saya kuburkan di samping kuburan ibu. Setiap hari saya kunjungi
kuburannya yang menyadarkan saya bahwa saya telah gagal menyelamatkan keluarga
kecil ini. “Apalagi Ning pergi meninggalkan saya entah ke mana”.
d) Ibu
Tokoh ibu merupakan tokoh yang
dijadikan awal pengenalan konflik. Tokoh
ini digambarkan sebagai tokoh yang lemah fisi dan mentalnya.Hal ini bisa
terlihat pada penggambaran sebagai berikut:
“Ketika ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang
sedang dimakannya, seketika ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma
sekitar satu minggu, kemudian ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup
keluarga kami diputar ulang”.
e) Ayah
Tokoh ini nampaknya menjadi tokoh
sentral. Penarikan masalah berpusat dari tokoh ayah yang meninggalkan
keluarganya karna menjadi korban pembantaian. Tokoh ayah ini digambarkan
sebagai tokoh pendidik yang perhatian kepada keluarganya, bertanggung jawab,
serta rajin dalam beribadah, yang menjadi topangan utama kebahagiaan keluarga
kecil ini. Hal ini bisa terlihat pada penggambaran sebagai berikut:
Ayah adalah kepala SMP. Semua
kegiatan ayah berkisar antara rumah dan sekolah. Hampir tak pergi ke mana-mana.
Jika sekolah piknik, ayah tak pernah ikut. Ia menugaskan guru yang lebih muda.
Ayah cukup berbahagia mendampingi ibu yang sibuk dengan usaha kateringnya. Ayah
tak tertarik politik. Beliau murni seorang pendidik. Setiap kali saya terbangun
tengah malam atau dini hari, ayah dan ibu tampak sedang khusyuk beribadah yang
membuat saya malu hati karena siapa tahu sedikit banyak sapuan ibadahnya juga
untuk keselamatan hidup saya, seorang anak yang barangkali saja tidak memiliki
dimensi spiritual, kurang bersyukur, tak menyadari dilahirkan oleh sepasang
orang tua yang selalu menginjakkan kakinya di halaman surga, di mana tak semua
orang mampu pergi ke sana.
c. Latar
Segala keteranga, petunjuk, pengacuan yang terkait dengan waktu, ruang,
dan susunan terjadinya peristiwa dalam karya sastra dikenal dengan sebutan
latar (Sudjiman, 2006: 48). Pada analisis ini, penulis lebih memfokuskan pada
latar dan waktu yang menurut penulis merupakan unsure yang penting dan mudah
untuk dipahami.
“Kami juga sering turun dari kendaraan umum lalu beramai-ramai menambal
aspal jalan yang mengelupas. Atau mendorong bus kami yang terjerembab banjir.
Pemandangan indah, pemandangan suram, semua disajikan kepada kami”.
“Hari belum tinggi benar ketika ayah diseret ke tepi Sungai Brantas
bersama puluhan orang laki-laki dan perempuan yang duduk dengan mata tertutup
dan tangan terikat ke belakang. Mereka basah-kuyup menggigil kedinginan oleh
hujan dan kepanasan oleh hantu yang mengintip dari balik kancing baju mereka.
Persis gundukan tanah yang tumbuh berderet-deret menghiasi sungai, mereka
gundukan-gundukan yang tak dikenal. Gundukan semak belukar yang setiap saat
dibabat supaya kelihatan rapi”.
Kutipan cerpen ini menggambarkan situasi latar didalam
cerita ini berada di daerah dekat sungai besar bernama “Sungai Brantas”. Gambaran ini bisa kita lihat dari situasi
lingkungannya dalam cerita ini, dimana daerah ini sering terjadi banjir dan
jalan-jalan banyak yang terkeupas karna air.
“Sampai malam malapetaka itu mengetuk pintu rumah kami dan membawa ayah
pergi. Untuk sesaat, saya, ibu, Retno, dan Ning tertegun, sama sekali tidak
tahu apa yang sedang terjadi. Orang-orang yang menggelandang ayah begitu
garang, juga tak bersedia memberi alas an”.
Dari kutipan cerita tersebut waktu yang ada dalam
cerita ini terjadi pada malam hari. Waktu malam dalam dalam cerita merupakan
sebuah pengkondisian situasi untuk bisa mendramatisir jalannya cerita yang
penuh dengan tragedi kesedihan.
d. Tema
Gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap
atau tidak dinamakan tema (Sudjiman, 2006: 78). Dalam sebuah penulisan,
kaitannya dengan tema, pengarang dalam menuangkan idenya tidak hanya ingin
sekedar bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada pebacanya. Keberadaan
suatu cerita yang ditampilkan pengarang dapat berupa suatu masaah kehidupan,
pandangan hidupnya atau komentar tentang kehidupan ini.
Cerpen “Cincin Kawin” menceritakan tentang sorang anak yang tegar akan
ujian hidup yang menimpa seuruh anggota keluarganya. Meninggalnya sosok ayah
tercinta karna korban pembantaian, membuat ibu jatuh pinsan dan koma ketika
menemukan “Cincin Kawinnya” ditemukan pada perut ikan yang dimakannya. Setelah
lama koma akhirnya meninggal dunia. Kakak perempuan dan adiknya yang tak kuat menghadapi
ini semua membuat Retno sebagai kakak perempuannya jatuh sakit, lalu meninggal
dan Ning pergi dari rumah tanpa kabar. Tema yang diangkat dalam cerpen ini
yaitu tentang ekonomi. Hal ini bisa tergambar dalam cerpen ini, sumber konflik
karna permasalahan ekonomi. Karna ekonomi yang kurang mereka harus membei
ikan-ikan murah pemakan bangkai. Karna ekonomi juga Ibu dan Retno tidak bisa
berobat untuk kesembuhannya, dan akhirnya meninggal. Larna situasi ekonomi pula
Ning meninggalkan rumah.
D. Kesimpulan
Cerpen Cincin Kawin karya Danarto ini
memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik. Hal ini dapat dilihat dari
unsur-unsur intrinsik . Adapun hasil analisisnya sebagai berikut:
Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah sosial dan
ekonomi.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1)
Kita harus peduli dan simpati untuk
membantu ekonomi tetangga kita yang membutuhkan,
2)
Bersabarlah dalam menghadapi ujian
hidup,
3)
Belajarlah menjadi seorang pemimpin
yang pedui nasib para rakyatnya,
4)
Sayangilah keluarga kita.
5)
Jadilah contoh teladan bagi keluarga.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini
adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur maju
mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu . Sedangkan
strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai
muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada lima
orang, yaitu tokoh saya, Retno, Ning, Ibu, dan Ayah.
1)
Tokoh saya adalah orang yang
bertanggung jawab, penyayang, tidak putus asa dan tegar dalam menjalani hidup
walau masalah datang silih berganti menimpa keuarganya.
2)
Tokoh Retno yang lemah fisiknya dan
menjadi pelengkap keprihatinan bagi tokoh si Saya
3)
Tokoh Ning adalah digambarkan sebagai
tokoh yang rapuh mentalnya.
4)
Tokoh Ibu adalah tokoh lemah fisik
dan mentalnya.
5)
Tokoh Ayah adalah tokoh yang
digambarkan sebagai tokoh pendidik yang perhatian kepada keluarganya,
bertanggung jawab, serta rajin dalam beribadah.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu
pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung
pengarang terlibat di dalam cerita.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang banyak
sekali menggunakan gaya bahasa yang puitis, dan majas perumpamaan dan
hiperbola.
Berdasarkan uraian di atas, maka
cerpen Cincin Kawin cocok di baca untuk tingkatan Mahasiswa. Dalam
cerpen Cincin Kawin penggunaan
kata-kata dan bahasa banyak sekali menggunakan perumpamaan dan puitis, sehingga
pembaca sulit memahami cerpen tersebut sekaligus, harus berulang-ulang untuk
bisa memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Apresiasi Prosa Fiksi dan Pembelajarannya . (2010).
Tersedia, (
http://ebook
freetoday.com/view-pdf.php?bt=PANDUAN-APRESIASI-PROSA%E2% 80%93-FIKSI&lj=http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS ._DAN_SASTRA_INDONESIA/196606291991031-DENNY_ISKAND AR/Bahan_Ajar_Prosa-Fiksi_PLPG_SMP.pdf). [2012].
Asri, Yasnur.
2012. “Aplikasi Pendekatan Struktural dalam Memahami Karya
Prosa. (2012). [online]. Tersedia,(
http://id.wikipedia.org/wiki/Prosa ) . [2012].
Kumpulan Cerpen Kompas. (2012).
[online]. Tersedia,(
http://cerpenkompas.wordpress.com/2012/02/26/laki-laki-pemanggul-goni/#more-1533
) . [2012].
Teori Sastra. (2010). [online]. Tersedia,
http;//pustaka.ut.ac.id/website/index.php?
option=com_content&view=article&id=58:pbin-4104-teori sastra<emid =75 &catid=30:fkip.
[22 April 2012].
Wahyuni Handayani, Siti . 2009. “Bab 2 Kerangka Teori". Tersedia: